GONJANG GANJING KEWENANGAN IB DAN PKB SERTA SOLUSI ?

Gonjang ganjing terhadap kewenangan petugas insiminasi buatan (IB) dan pemeriksaan kebuntingan (PKB) saat ini sedang hangat-hangatnya. Sebenarnya gonjang ganjing ini sudah cukup lama, hampir merata diseluruh peloksok nusantara, namun reaksinya silent. Setelah diterbitkannya Permentan no 3 tahun 2019 tentang Pelayanan Jasa Medik Veteriner, maka gonjang ganjing semakin hangat dan meluas, apalagi dengan munculnya kajian akademik dan somasi

terhadap Permentan no 3 tahun 2019. Sah-sah saja mereka melakukan Kajian akademik dan Somasi dengan dalil2 dan rujukan yang diacu sesuai sudat pandang dan kepentingannya. Itu WAJAR. Namun mereka lupa, bahwa setiap manipulasi biologis dan diagnose terhadap mahluk/hewan harus berlandas medis. Di kedokteran manusia aturan itu sudah lama dan sangat jelas, namun di dunia peternakan kejelasan aturan baru muncul setelah terbitnya Permentan no 3 tahun 2019. Lebih baik terlambat dari pada tidak adanya kejelasan aturan.

Menurut Permentan no 3 tahun 2019 tentang Pelayanan Jasa Medik Veteriner pasal 5 ayat (1). Pelayanan Jasa Medik Veteriner sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dilaksanakan oleh Tenaga Kesehatan Hewan, ayat (2). Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a.Tenaga Medik Veteriner, b. Tenaga Paramedik Veteriner; dan c. Sarjana kedokteran hewan.

Selanjutnya dikatakan di pasal 6 ayat (2) Tenaga Paramedik Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. Tenaga Paramedik Veteriner Kesehatan hewan; b. Tenaga Paramedik Veteriner inseminasi buatan; c. Tenaga Paramedik Veteriner pemeriksaan kebuntingan; dan c. Tenaga Paramedik Veteriner asisten Teknik reproduksi

Mengacu pada Permentan no 3 tahun 2019 tersebut dan mengapa petugas IB dan PKB masuk kedalam Paramedik veteriner dibawah penyelia dokter hewan, penulis mencoba menjelaskan secara singkat dari sisi Medik (Paramedik), dimana aspek

medis terhadap tindakan IB dan PKB ?

A. Aspek Medik IB dan PKB

Tinjauan dari aspek medik terhadap tidakan IB dan PKB adalah sbb:

a. Aspek Medik IB

1. Inseminasi buatan adalah teknik memasukkan mani atau semen ke dalam alat reproduksi ternak betina sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar ternak bunting. Setiap tindakan baik barupa alat (misal inseminasi gun) atau obat (misal semen) dimasukan kedalam tubuh hewan melalui saluran reproduksi (via vagina menuju servik atau korpus uteri) adalah suatu tindakan yang sangat beriko terjadi gangguan (infeksi) saluran reproduksi. Tindakan IB tersebut sangat jelas mengandung aspek medik, sehingga tepat sekali jika petugas IB masuk kedalam Paramedik veteriner IB.

2. SebelummelakukantindakanIB,petugasIBharusmempunyaikemampuan menentukan kondisi hewan betul-betul dalam keadaan estrus, mampu menentukan kondisi uterus yang betul-betul sedang estrus, dan mampu membedakan sifat lendir estrus yang sehat dengan lendir yang terkena infeksi. Untuk dapat membedakan sifat lendir estrus yang sehat/normal dengan lendir estrus yang tidak normal maka petugas IB harus mempunyai latar belakang dasar-dasar kesehatan reproduksi. Kemampuan membedakan lendir estrus wajib hukumnya pagi petugas IB. Untuk itu tenaga IB harus berlatar belakang pendidikan kesehatan hewan.

3. Ketika petugas IB memandu memasukan gun IB masuk servik dengan memegang servik, maka petugas IB harus dapat memastikan bahwa servik

yang dipegang dalam keadaan yang normal (tidak ada kelainan/anomali atau tidak dalam keadaan yang infeksi). Petugas IB juga harus bisa memastikan bahwa semua saluran reprodusi dalam keadaan normal (korpus maupun kornu uterus) baik konsistensi maupun ukurannya. Alangkah idealnya jika petugas IB mampu memegang kondisi, konsistensi, dan ukuran ovarium serta size folikel yang sedang estrus. Jadi petugas IB tidak se-mata2 HANYA memasukan gun IB saja tetapi harus didukung dengan kemampuan membedakan saluran dan organ reproduksi dalam keadaan yang normal atau tidak normal. Kemampuan tersebut hanya

dimiliki oleh seorang yang mempunyai keahlian medis atau paramedis, sehingga sangat wajar kalau petugas IB masuk kedalam Paramedik veteriner dibawah penyelia dokter hewan dan keberadaan PP no 3 tahun 2019 sangat relevan sekali karena isinya mengatur kewenangan dan tanggung jawab petugas IB.

4. Hewan betina yang menunjukan estrus, belum tentu dikatakan estrus yang normal karena pada kasus tertentu (patologis maupun non patologis) juga menunjukkan seperti estrus yang normal. Hewan yang estrus karena patologis, tidak akan pernah bisa bunting walau dikawinkan ber-kali2. Kejadian sapi estrus yang sudah di IB beberapa kali bahkan sampai diatas 4 kali atau 10 kali belum bunting cukup banyak. Sapi2 yang demikian mungkin saja mengalami infeksi ringan atau karena gangguan hormone. Siapa yang bertanggung jawab kalau menghadapi kasus seperti ini ?. apakah petugas NON MEDIS punya HAK untuk mengatasi ini ?. Yang bertanggung jawab untuk mengatasi ini adalah dokter hewan, sebab dokterhewanlah yang mempunyai latar belakang pendidikan/ke-ilmuan medis, bukan yang lain. Sehingga sangat wajar bahwa petugas IB masuk kedalam paramedik veteriner dan tugasnya dibawah penyelia dokter hewan.

5. Kejadian estrus pada sapi bunting sering terjadi dilapangan. Sebelum melakukan IB, petugas IB dituntut mempunyai ketrampilan dalam menentukan uterus tidak bunting yang sedang estrus dan lendir yang keluar dari uterus bunting. Ketrampilan petugas dalam menentukan estrus dari sapi bunting atau tidak bunting adalah masuk kedalam ranah ilmu Obstetri veteriner, artinya termasuk Paramedik veteriner.

6. Resiko tindakan IB terhadap kondisi saluran reproduksi cukup tinggi seperti adanya luka pada vagina, servik, korpus dan apalagi kalau ada petugas IB

yang mendeposisikan semen sampai jauh ke dalam kornu uterus (karena tidak mengetahui risiko yang ditimbulkannya) dan ini semua dapat menyebabkan infeksi yang menyebabkan hewan menjadi infertile (sapi-sapi menjadi anestrus atau kawin berulang) atau steril. Risiko akibat pelaksanaan IB yang tidak legeartis dan dilakukan oleh petugas yang tidak mempunyai latar belakang paramedik veteriner adalah sangat nyata dilapangan. Untuk itu tenaga IB harus berlatar belakang pendidikan kesehatan hewan agar mampu meminimalkan kejadian gangguan reproduksi akibat tindakan IB. Sehingga sangat tepat kalau IB masuk ke

dalam paramedik veteriner (Permentam no 3 tahun 2019).

7. Pelaksanaan IB tidak semata-mata hanya memasukan inseminasi gun ke dalam servik melalui vagina namun pelaksanaan IB sangat beresiko menjadi sarana penularan infeksi yang pontensial dari hewan sakit ke hewan yang sehat. Cukup banyak agen infeksi yang penularannya lewat pelaksanaan IB. Risk factor berbagai agen infeksi yang dapat ditularkan oleh media IB terhadap kesehatan reproduksi harus betul-betul dipahami oleh petugas IB. Sehingga sangat tepat kalau IB masuk kedalam paramedik veteriner dibawah penyelia dokter hewan (permentan no 3 tahun 2019).

8. Setiap melakukan layanan public (misalnya IB) maka harus ada bentuk pertanggungan jawab tehadap resiko yang timbul akbibat layananan tersebut. Di permentan no 3 tahun 2019 sudah sangat jelas dan tegas bahwa, petugas paramedik inseminasi buatan dalam menjalankan tugasnyadibawah penyelia dokter hewan, artinya pengawasan dokter hewan secara berkelanjutan kepada kinerja tenaga paramedik veteriner terhadap resiko yang ditimbulkan oleh petugas IB.

9. DenganditerbitkannyaPermentanno3tahun2019tentangPelayananJasa Medik Veteriner, yang mengatur Regulasi secara tegas dan jelas terhadap kewenangan dan pertanggungan jawab petugas IB maka Permentan tersebut harus diperkuat demi kenyaman petugas maupun masyarakat pengguna Jasa IB.

10.Dari uraian diatas jelas sekali bahwa kewenangan IB adalah ranahnya dokter hewan atau Paramedik veteriner IB dibawah penyelia dokter hewan

b. Aspek Medik PKB

1. Sebelum melakukan tindakan PKB, petugas PKB harus mempunyai kemampuan menentukan bunting atau tidak, mampu menentukan usia kebuntingan, mampu membedakan letak dan posisi uterus bunting, mampu memprediksi kemungkinan kelahiran normal dan distokia, serta mampu menentukan diferensial diagnosa kebuntingan.

2. Seorang petugas PKB harus mempunyai kemampuan menentukan status fetus hidup, fetus mati, fetus mengalami mummifikasi fetus atau maserasi fetus.

3. ResikotindakanhasilPKByangkeliruadalahhewanbuntingdikatakantidak

bunting dan sebaliknya, dan ini sangat beresiko jika sedang melakukan program sinkronisasi estrus atau sedang melaksanakan program penanganan gangguan reproduksi yaitu terjadi abortus. Resiko terjadi

abortus atas tindakan PKB yang tidak prosedural sangat tinggi. Dan oleh sebab itu maka kewenangan menentukan diagnose kebuntingan adalah dokter hewan, atau petugas PKB dibawah penyelia dokter hewan.

4. Semua tidakan yang dilakukan petugas PKB adalah mencerminkan tindakan medik, maka semakin jelas bahwa petugas PKB adalah termasuk kedalam Paramedik Veteriner sesuai dengan Permentan no 3 tahun 2019 tentang Pelayanan Jasa Medik Veteriner.

5. DenganditerbitkannyaPermentanno3tahun2019tentangPelayananJasa Medik Veteriner, yang mengatur Regulasi secara tegas dan jelas terhadap kewenangan dan pertanggungan PKB ada di dokter hewan atau Paramedik Veteriner PKB dibawah penyelia dokter hewan, dan oleh karena itu maka Permentan tersebut harus diperkuat demi kenyaman petugas maupun masyarakat pengguna Jasa PKB.

B. Realita Petugas IB dan PKB di Indonesia

1. Sejarah rekruitmen calon petugas IB dan PKB dari berbagai macam pendidikan yang dilatih dengan skema 120 jam pelatihan (petugas IB) merupakan suatu yang mendesak yang harus di ambil oleh pemerintah

pada saat itu untuk mengatasi keterbatasan tenaga IB dan PKB dengan tujuan meningkatkan populasi ternak sapi.

2. Secara faktual keberadaan petugas IB dan PKB sudah sangat membantu dalam melaksanakan tugasnya

3. Keberadaan petugas IB dan PKB sudah menyebar di seluruh peloksok nusantara4. Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan dunia peternakan yang semakin mengutamakan aspek kompetensi (profesionalisme) dan pertanggungan jawaban (kewenangan) yang tegas dan jelas terhadap setiap layanan public (IB dan PKB) maka pemerintah sudah sangat tepat menerbitkan permentan no 3 tahun 2019 (tentang Pelayanan Jasa Medik Verteriner)

5. Dengan terbitnya permentan no 3 tahun 2019 tentang Pelayanan Jasa Medik Veteriner maka kedepan persyaratan rekruitmen petugas IB dan PKB harus mengikuti peraturan tersebut.

C. Solusi Bagi Petugas IB dan PKB

  1. Petugas IB dan PKB tetap berada dalam wadah Paramedik Veternier
  2. Tugas Paramedik veteriner tetap dibawah penyelia Dokter Hewan
  3. Bagi petugas IB dan PKB secara eksisting yang sudah mendapat pelatihan IB dan PKB (sudah berpengalaman) keberadaannya tetap diakui (diputihkan)
  4. Untuk mendapat pengakuan sebagai petugas yang kompeten sesuai dengan permentan no 3 tahun 2019, maka semua petugas IB dan PKB harus mengikuti sertifikasi kompetensi IB dan PKB.
  5. Persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi kompetensi profesi IB dan PKB bagi petugas IB dan PKB yang diperoleh sebelum diterbikan permentan no 3 tahun 2019 dapat mengikuti uji sertifikasi kompetensi profesi IB dan PKB lewat jalur Portofolio atau pengalaman kerja sebagai petugas IB atau PKB
  6. Bagi petugas IB dan PKB yang akan memperpanjang ijin harus mengikuti aturan permentan no 3 tahun 2019 yaitu mencantumkan atau menunjukkan serifikat kompetensi IB dan PKB.
  7. Keberadaan Permentan no 3 tahun 2019 tetap harus DIPERTAHANKAN bahkan harus diperkuat karena permentan tersebut memberi ketegasan akan tugas, kewenangan dan pertanggungan jawab terhadap Paramedik veteriner dan Medik veteriner terhadap pemangku kepentingan peternakan.Yogjakarta, 1 Januari 2021

    Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP
    Ketua Departemen Reproduksi dan Kebidanan FKH-UGM

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.